Senin, 09 April 2012

Filsafat Bahasa Biasa (Wittgenstein)


BAB I
PEMBAHASAN
A.    Filsafat Bahasa Biasa
Wittgenstein adalah penulis Tractatus Logico-Philosophicus yang merupakan sumber inspirasi kaum logis-positivis dalam hal analisis antara pernyataan yang bermakna dengan pernyataan yang tidak bermakna  Filsafat analitik sesungguhnya lahir sebagai reaksi terhadap ketidakpuasan filsafat pada saat itu yang didominasi oleh tradisi idealisme, terutama kalangan teolog yang sangat mengagungkan pentingnya metafisika.
Wittgenstein dikenal luas sebagai tokoh filsafat bahasa yang mengalami dua masa pergeseran filosofis, sehingga sering disebut sebagai Wittgenstein I dan Wittgenstein II. Jika pada masa Wittgenstein I, yang ditandai dengan karyanya Tractacus Logico-Philosophicus, Wittgenstein begitu ketat memaparkan apa yang diistilahkan sebagai “bahasa logika”, yang mengidealisasikan keharusan kesesuaian (uniformitas) logis antara struktur bahasa dengan stuktur realitas, agar bahasa dan maknanya dapat dipahami secara logis, maka pada Wittgenstein II, yang ditandai dengan karyanya Philosphical Investigations, Wittgenstein “seolah” membantah pemikirannya sendiri dengan menyatakan bahwa setiap kata dalam bahasa bisa memiliki keragaman (poliformitas) makna sesuai dengan keragaman konteks yang mendasari penggunaan kata tersebut. Inilah yang dikenal luas dengan filsafat bahasa biasa (ordinary language philosophy) yang berpuncak pada istilah “tata permainan bahasa” (language game).

B.     Wittgenstein I dan Bahasa Logika
Dalam pengantar Tractacus, Wittgenstein menyoroti persoalan besar kekacauan bahasa sebagai biang kerok betapa. Kekacauan bahasa itu disebabkan oleh kesalahpahaman dalam penggunaan bahasa logika, yang mengakibatnya tidak adanya “tolak-ukur” yang dapat menentukan apakah suatu ungkapan filsafat itu bermakna dan kosong belaka. Karena itu, menurut Wittgenstein, harus dibuat kerangka bahasa logika sebagai dasar dalam berfilsafat.
Apa yang dimaksud dengan bahasa logika oleh Wittgenstein?
1.      proposisi sebagai alat bahasa. Proposisi diterjemahkan sebagai “gambaran realitas, jika saya memahami proposisi itu berarti saya mengetahui bentuk-bentuk peristiwa/keadaan-keadaan faktual yang dihadirkan melalui proposisi tersebut…dan saya dapat dengan mudah memahami proposisi itu tanpa perlu dijelaskan lagi pengertian di dalamnya.” Begitu prinsipilnya proposisi di mata Wittgenstein, baginya, ia merupakan hal mutlak yang diperlukan untuk mendukung “sebuah ungkapan yang bermakna” (dan itulah yang dimaksud proposisi) yang menunjuk pada suatu bentuk peristiwa atau pun keberadaan suatu peristiwa (states of affairs).
Dengan demikian, sebuah ungkapan baru bisa diterima sebagai proposisi bila berhasil menunjukkan pengertian tertentu dan terang tentang suatu realitas, sehingga seseorang yang dihadapkan pada proposisi itu akan bisa mengatakan “iya” atau tidak” untuk menyetujui realitas yang dikandungnya. Ini mengandung konsekuensi bahwa ungkapan atau penyataan filsafat apa pun yang tidak memenuhi syarat proposisi tersebut harus dinyatakan sebagai tidak bermakna karena gagal logika, bukan “benar atau salah”, lantaran menjadi upaya yang sia-sia belaka untuk memahami suatu ungkapan yang tidak logis.
2.      Fakta yang dikandung realitas. Sebagaimana Russel yang mengenalkan istilah isomorfi (kesesuaian), Wittgenstein meyakini bahwa diperlukan hubungan mutlak antara bahasa (proposisi) dengan realitas atau dunia fakta.

Disinilah kita harus menggunakan bahasa logika. suatu bahasa baru bisa dinyatakan memenuhi bahasa logika yang sempurna apabila mengandung aturan sintaksis yang terang (proposisi) dan mempunyai symbol.
Tractatus mendasarkan pada aspek semantik bahasa (logika bahasa) menemui banyak keterbatasan philosiphical investigation merupakan bentuk filsafat biasa (ordinary language)

C.    Wittgenstein II: Bahasa Biasa dan Tata Permainan Bahasa (Language Game)
Pada era Wittgenstein II, karya popular Wittgenstein yang menandai pergeseran filosofisnya adalah Philosophical Investigations, yang ditulis dengan gaya yang sangat longgar, cenderung sintetik, bahkan dekat dengan cerita detektif, yang diterbitkan dua tahun setelah kematiannya. Wittgenstein II sangat terkenal dengan semboyannya: “Makna setiap kata tergantung penggunaannya dalam bahasa, dan makna sebuah bahasa tergantung penggunaannya dalam kehidupan.”
Ada dua fase pokok dalam masa Wittgenstein II yang harus diperhatikan untuk mendapatkan pembedaan pemahaman dengan masa Wittgenstein I.
1.      filsafat bahasa biasa (ordinary language philosophy).
Munculnya filsafat bahasa biasa dipicu oleh kegalauan terhadap kegagalan bahasa logika dalam menjelaskan jubelan realitas.
Jika filsafat bahasa logika mengidealkan ketunggalkan makna dalam suatu kata dan proposisi (uniformitas), sementara fakta keseharian memperlihatkan begitu banyak ragam makna yang muncul secara nyata, maka wajarlah kalau lahirnya filsafat bahasa biasa disambut luas untuk menjelaskan persoalan keragaman makna bahasa itu (poliformitas). Wittgenstein menyadari bahwa kelemahan mendasar bahasa logika ialah tidak mampu menyentuh seluruh realitas yang tampak nyata dalam kehidupan sehari-hari. Wittgenstein mengalihkan perhatiannya pada keanekaraman bahasa biasa dan cara penggunaannya, yang memproduksi keragaman makna nyata.


Jika dibandingkan dengan masa Wittgenstein I, era Wittgenstein II berubah haluan dalam tiga prinsip sekaligus:
1.      Bahwa bahasa dipakai hanya untuk satu tujuan saja, yakni menetapkan keadaan faktualnya (state of affairs).
2.      Bahwa kalimat mendapatkan maknanya dengan satu cara saja, yakni menggambarkan suatu keadaan faktual.
3.      Setiap jenis bahasa dapat dirumuskan dalam bahasa logika yang sempurna, meskipun pada pandangan pertama barangkali sukar untuk dilihat.
Lepas dari persoalan perubahan filosofis yang sangat mendasar pada diri Wittgenstein tersebut, yang pasti melalui Philosophical Investigations, Wittgenstein telah meletakkan pondasi besar tentang filsafat bahasa biasa sebagai antitesis terhadap bahasa logikanya.
2.      tata permainan bahasa (language game).
Wittgenstein menjelaskan tentang tata permainan bahasa melalui ilustrasi berikut:
“Suatu permainan haruslah ditentukan oleh aturan. Kemudian jika dalam permainan catur telah ditentukan sebelumnya bahwa “buah raja” memegang peranan yang sangat penting, maka tentu jelas itu merupakan bagian yang esensial dalam permainan tersebut.
Permainan catur baru akan menemukan maknanya sebagai sebuah permainan jika seperangkat aturannya diindahkan. Tanpa mengikatkan diri pada tata aturan permainan itu, maka permainan catur, dan segala permainan lainnya, akan kehilangan maknanya.
Selain itu, bahasa juga memiliki seperangkat tata aturannya yang darinya kemudian lahir makna yang terang dan jelas tentangnya. Jika tata permainan bahasa ini diabaikan, maka bahasa akan kehilangan makna terangnya. Karena itulah, untuk mendapatkan makna yang terang, bahasa tidak boleh dilepaskan dari tata aturan permainnanya. Wittgenstein mengistilahkan hal ini sebagai tata permainan bahasa (language game).
Jenis penggunaan bahasa ini memiliki tata aturan permainannya sendiri, yang bila dicampur-adukkan, niscaya akan melahirkan kekacauan berbahasa dan pemaknaannya. Apa yang menjadi tata aturan permainan ilmiah, tidak bisa dicampurkan penggunaannya dalam tata aturan permainan bahasa biasa. Demikian pula sebaliknya.
Oleh karena itu, mustahil untuk membangun dan menerapkan sebuah tata aturan permainan bahasa tunggal dan umum. Inilah prinsip utama pemikiran Wittgenstein II, yang sangat bertentangan dengan pemikiran utama Wittgenstein I.
Pemikiran Wittgenstein ini sangat terang muncul dalam pernyataannya: “Makna sebuah kata tergantung penggunaannya dalam sebuah kalimat, makna sebuah kalimat tergantung penggunaannya dalam sebuah bahasa, dan makna sebuah bahasa tergantung penggunaanya dalam sebuah kehidupan.”
“Konteks”, inilah sebenarnya padanan maksud yang dibangun oleh Wittgenstein dengan istilah tata permainan bahasa itu. Setiap makna kata dan kalimat sama sekali tidak bisa dilepaskan dari konteks yang melandasi penggunaannya dalam kehidupan pengucapnya.
Kata “kiri”, misalnya, jika konteks penggunaannya dilakukan di atas kendaraan umum, maka ia bermakna “stop, berhenti”. Jika ia digunakan dalam konteks sebuah diskusi tentang relasi kapitalisme dan komunisme, ia menunjuk pada makna “komunisme”. Jika ia dipakai dalam konteks studi Islam, ia bermakna “kaum liberalis” yang berhadapan dengan kaum tradisional (kanan). Jika ia dipakai dalam konteks rambu-rambu lalu lintas, ia bisa berarti “belok kiri”. Dan seterusnya.
Lain lagi kasusnya bila sebuah kata dipergunakan dalam konteks ilmiah yang baku atau disiplin ilmu tertentu. Tata aturan permainannya pun harus diindahkan. Kata ilmiah baku khas Ekonomi, “permintaan dan penawaran” (demand and supply) jika digunakan dalam konteks Ekonomi, jelas maknanya. Tapi jika kata ilmiah baku tersebut digunakan dalam konteks pergaulan sehari-hari, bisa memicu kesalahpahaman arti. Kata “permintaan dan penawaran” tersebut bisa dipahami sebagai “permintaan untuk memenuhi kenduri” dan “penawaran untuk menginap di rumahnya”.
Demikian pula bila sebuah kata atau kalimat dipergunakan sesuai dengan konteks lawan bicara. Misal, kata “Tuhan” bila disampaikan kepada seorang anak kecil akan sangat sulit untuk dimengerti maknanya, sehingga kita membutuhkan kata lain yang lebih pas dengan konteks lawan bicara itu, misal “Pencinta” atau “Bapak”, dll. Misal lain, kata “filsafat”, jika digunakan dalam konteks pembicaraan dengan lawan bicara seorang petani di pelosok jauh, tentu akan sulit dipahami, kecuali bila diganti dengan kata “pemikiran”, “pendapat”, “pandangan”, “paham”, “usul”, dll.
Semua uraian tersebut menunjukkan dengan sangat nyata dan terang bahwa setiap kata atau kalimat sungguh sangat terikat dengan konteks penggunananya, tata aturan permainannya. Kegagalan mengikuti tata aturan permainan bahasa akan menimbulkan kerancuan makna dan bahkan sekaligus kesan makna yang disertakannya.
Atas dasar teori tata permainan bahasa ini, Wittgenstein mengkritik persoalan mendasar dalam dunia filsafat yang memiliki kecenderungan untuk sangat sulit dipahami makna bahasa yang diungkapkan para filosof. Menurutnya, hal itu terjadi lantaran para filosof tidak memperhatikan tata aturan permainan bahasa ini sehingga menimbulkan kekacauan pemahaman untuk memahami ungkapan-ungkapannya.

Wittgenstein menguraikannya dalam peta berikut:
a.      Pola penggunaan istilah atau ungkapan dalam bahasa filsafat yang tidak sesuai dengan tata aturan permainan bahasa.
b.      kecenderungan untuk mencari pengertian yang bersifat umum dengan merangkum berbagai gejala yang diperkirakan mencerminkan sifat keumumannya. Wittgenstein mengistilahkannya sebagai “craving for generality” (ketunggalan dalam kamajemukan), yaitu kecenderungan mencari sesuatu yang umum pada semua satuan konkret yang dihimpunkan di bawah suatu istilah umum, atau, mencari satu kesatuan pengertian dalam keanekaragaman, kesamaan dalam perbedaan, dan ketunggalan dalam kamajemukan.
c.       kecenderungan melakukan penyamaran pengertian atau pengertian yang terselubung dalam istilah-istilah yang tidak dapat dipahami. Ini semestinya dihindari untuk digunakan agar pemikiran yang dimaksudkan tidak terkungkung dalam keterselubungan maknanya sehingga tidak menjadi sebuah ungkapan yang sia-sia belaka.

D.    Beberapa Kritik terhadap Wittgenstein
Pemikiran filsafat analisis Wittgenstein, khususnya tentang language game, memberikan pengaruh yang sangat besar kepada para pemikir sesudahnya, di antaranya Jean-Francois Lyotard saat meneliti tentang masyarakat industrial. Namun demikian, ada bebarapa kritikan yang penting diajukan dalam studi ini.
1.      Peta yang dibuat Gilbert Ryle dalam “ordinary use” (penggunaan bahasa biasa yang baku) dan “ordinary usage” (penggunaan bahasa biasa dalam kebiasaan sehari-hari) melengkapi konsep language game Wittgenstein tentang pentingnya untuk membangun batasan yang ketat antara bahasa biasa baku dengan bahasa biasa sehari-hari.
2.      kepentingan bahasa. Setiap kata dan bahasa niscaya mengusung kepentingan, apa pun itu. Karena itulah, kata Hans-Georg Gadamer dengan menyetujui Martin Heidegger, memahami sebuah bahasa sesungguhnya merupakan kegiatan menyelidiki proses universal dari tindakan hakikat manusia sebagai sebuah Ada.
Contoh konkret tentang kritik ini ialah bagaimana George Soros, sang panglima kapitalisme global, saat menelurkan istilah: “Faliabilitas, Refleksitas, dan Open Society”. Ketiga istilah Soros ini mengusung kepentingan ekspnasi bisnis globalnya agar masyarakat lokal menerima dengan positif kehadiran “orang-orang luar” untuk melakukan aktivitas ekonomi di wilayahnya.
3.      Sulitnya menerapkan filsafat bahasa biasa dan language game Wittgenstein ke dalam kegiatan pemahaman atau penafsiran teks.

Apa itu teks? Menurut Paul Ricoeur, teks adalah “any discourse fixed by writing.” Istilah “discourse” ala Ricoeur ini menunjuk pada bahasa saat dikomunikasikan, baik dalam bentuk lisan atau tulisan. Untuk kasus discourse dalam bentuk lisan, menurut Ricoeur, tidak akan membutuhkan banyak persoalan, lantaran tercipta komunikasi langsung, terlekat langsung (include) dengan si pengucap, mulai intonasi hingga gesture. Tetapi untuk discourse yang “fixed by writing”, ia tidak memiliki situasi itu, terjadi keterputusan cakrawala penulis dan pembaca. Di sinilah persoalan memahami dan menafsirkan teks begitu rumit. Ricoeur tampak sangat terpengaruh oleh hermeneutika Gadamer tentang pentingnya fusion of horizons (peleburan cakrawala) penulis dan pembacanya untuk mendialogkan teks dan pembacanya.
Sampai di sini, mudah dimengerti mengapa Ricoeur lalu mencerabut teks dari dunia penulis/pengucap/pembicara. Teks adalah korpus yang otonom, mandiri, memiliki totalitasnya sendiri. Karenanya, siapa pun Anda, sangat bisa untuk membaca teks lalu menarik makna darinya secara mandiri, karena dengan cara demikianlah teks itu menyatakan dirinya kepada Anda.

E.     Kalimat dan bahasa
“kita melihat bahwa apa yang kita sebut kalimat dan bahasa tidak mempunyai kesatuan formal yang saya bayangkan, akan tetapi lebih merupakan kelompok struktur yang kurang lebih berhubunganantara satu dengan yang lainnya.” (1983:108)

F.     Esensi Pandangan Wittgenstein
Makna sebuah kata itu adalah penggunaannya dalam bahasa dan bahwa makna bahasa itu adalah penggunaannya dalam hidup”. Terkadang kita tidak dapat menduga bagaimana sebuah kata itu berfungsi. kita hanya harus melihat penggunaannya dan belajar dari padanya.
Filsafat sama sekali tidak boleh turut campur dalam penggunaan bahasa yang sesungguhnya, dan sebenarnya filsafat hanya dapat menguraikannya.

G.    Makna Kata
          Makna sebuah kata adalah tergantung penggunaannya dalam suatu kalimat, adapun makna kalimat tergantung penggunaannya dalam bahasa, sedangkan makna bahasa tergantung penggunaannya dalam hidup.
Kritik Wittgensten atas Bahasa Filsafat
1.      Kekacauan bahasa filsafat timbul karena penggunaan istilah atau ungkapan dalam bahasa filsafat yang tidak sesuai dengan aturan permainan bahasa.
2.      Adanya kecenderungan untuk mencari pengertian yang bersifat umum dengan merangkum berbagai gejala yang diperkirakan mencerminkan sifat keumumannya.
3.      Penyamaran atau pengertian terselubung melalui pengajuan istilah yang tidak dapat difahami misalnya ‘kebenaran’, ‘ketiadaan’ dsb.
      
H.    Tugas Filsafat
Bahasa Filsafat yang memiliki berbagai kelemahan dapat diatasi manakala kita mengetahui dan menerapkan analisis bahasa dalam  Filsafat. Bahasa Filsafat dapat teratasi bilamana meletakkan tugas filsafat sebagai analisis bahasa. Terdapat dua hal yang terkait dengan tugas filsafat dalam bhasa yakni:
1)      Aspek Penyembuhan (therapheutics), dan
2)      Aspek Metodis

Sedangkan aspek metodologis terbagi lagi atas dua bagian:
1)      Dalam berfilsafat harus meletakkan landasannya pada penggunaan bahasa sehari-hari, dengan memperhatikan secara teliti aturan-aturan permainan bahasa (language games)
2)      Upaya untuk keluar dari kekacauan itu Wittgenstein mengibaratkan seperti seekor lalat yg terjebak dalam sebuah botol bening, seakan berada di dunia luar akan tetapi sebenarnya ia terperangkap dalam ruangan tersebut
Bagi Wittgenstein untuk mengatasi kekacauan tersebut haruslah melalui penampakan jalannya bahasa, yaitu bukannya melalui keterangan baru melainkan menyusun kembali apa yang telah kita ketahui.