BAB I
PEMBAHASAN
A.
Filsafat Bahasa Biasa
Wittgenstein adalah penulis Tractatus
Logico-Philosophicus yang merupakan sumber inspirasi kaum logis-positivis dalam
hal analisis antara pernyataan yang bermakna dengan pernyataan yang tidak
bermakna Filsafat analitik sesungguhnya lahir sebagai reaksi terhadap
ketidakpuasan filsafat pada saat itu yang didominasi oleh tradisi idealisme,
terutama kalangan teolog yang sangat mengagungkan pentingnya metafisika.
Wittgenstein dikenal luas
sebagai tokoh filsafat bahasa yang mengalami dua masa pergeseran filosofis,
sehingga sering disebut sebagai Wittgenstein I dan Wittgenstein II. Jika pada
masa Wittgenstein I, yang ditandai dengan karyanya Tractacus
Logico-Philosophicus, Wittgenstein begitu ketat memaparkan apa yang
diistilahkan sebagai “bahasa logika”,
yang mengidealisasikan keharusan kesesuaian (uniformitas) logis antara struktur bahasa dengan stuktur realitas,
agar bahasa dan maknanya dapat dipahami secara logis, maka pada Wittgenstein
II, yang ditandai dengan karyanya Philosphical Investigations, Wittgenstein
“seolah” membantah pemikirannya sendiri dengan menyatakan bahwa setiap kata
dalam bahasa bisa memiliki keragaman (poliformitas)
makna sesuai dengan keragaman konteks yang mendasari penggunaan kata tersebut.
Inilah yang dikenal luas dengan filsafat bahasa biasa (ordinary language
philosophy) yang berpuncak pada istilah “tata permainan bahasa” (language
game).
B.
Wittgenstein I dan Bahasa
Logika
Dalam pengantar Tractacus, Wittgenstein
menyoroti persoalan besar kekacauan bahasa sebagai biang kerok betapa.
Kekacauan bahasa itu disebabkan oleh kesalahpahaman dalam penggunaan bahasa
logika, yang mengakibatnya tidak adanya “tolak-ukur” yang dapat menentukan
apakah suatu ungkapan filsafat itu bermakna dan kosong belaka. Karena itu,
menurut Wittgenstein, harus dibuat kerangka bahasa logika sebagai dasar dalam
berfilsafat.
Apa yang dimaksud dengan bahasa
logika oleh Wittgenstein?
1. proposisi sebagai alat
bahasa. Proposisi diterjemahkan sebagai “gambaran realitas, jika saya
memahami proposisi itu berarti saya mengetahui bentuk-bentuk
peristiwa/keadaan-keadaan faktual yang dihadirkan melalui proposisi
tersebut…dan saya dapat dengan mudah memahami proposisi itu tanpa perlu
dijelaskan lagi pengertian di dalamnya.” Begitu prinsipilnya proposisi di
mata Wittgenstein, baginya, ia merupakan hal mutlak yang diperlukan untuk
mendukung “sebuah ungkapan yang bermakna” (dan itulah yang dimaksud proposisi)
yang menunjuk pada suatu bentuk peristiwa atau pun keberadaan suatu peristiwa (states
of affairs).
Dengan demikian, sebuah
ungkapan baru bisa diterima sebagai proposisi bila berhasil menunjukkan
pengertian tertentu dan terang tentang suatu realitas, sehingga seseorang yang
dihadapkan pada proposisi itu akan bisa mengatakan “iya” atau tidak” untuk
menyetujui realitas yang dikandungnya. Ini mengandung konsekuensi bahwa
ungkapan atau penyataan filsafat apa pun yang tidak memenuhi syarat proposisi
tersebut harus dinyatakan sebagai tidak bermakna karena gagal logika, bukan
“benar atau salah”, lantaran menjadi upaya yang sia-sia belaka untuk memahami
suatu ungkapan yang tidak logis.
2. Fakta yang dikandung
realitas. Sebagaimana Russel yang mengenalkan istilah isomorfi (kesesuaian),
Wittgenstein meyakini bahwa diperlukan hubungan mutlak antara bahasa
(proposisi) dengan realitas atau dunia fakta.
Disinilah kita harus menggunakan bahasa logika. suatu
bahasa baru bisa dinyatakan memenuhi bahasa logika yang sempurna apabila
mengandung aturan sintaksis yang terang (proposisi) dan mempunyai symbol.
Tractatus mendasarkan pada aspek semantik bahasa
(logika bahasa) menemui banyak keterbatasan philosiphical investigation
merupakan bentuk filsafat biasa (ordinary language)
C.
Wittgenstein II: Bahasa Biasa dan Tata
Permainan Bahasa (Language Game)
Pada
era Wittgenstein II, karya popular Wittgenstein yang menandai pergeseran
filosofisnya adalah Philosophical Investigations, yang ditulis dengan gaya yang
sangat longgar, cenderung sintetik, bahkan dekat dengan cerita detektif, yang
diterbitkan dua tahun setelah kematiannya. Wittgenstein II sangat terkenal
dengan semboyannya: “Makna setiap kata tergantung penggunaannya dalam bahasa,
dan makna sebuah bahasa tergantung penggunaannya dalam kehidupan.”
Ada
dua fase pokok dalam masa Wittgenstein II yang harus diperhatikan untuk
mendapatkan pembedaan pemahaman dengan masa Wittgenstein I.
1. filsafat bahasa biasa
(ordinary language philosophy).
Munculnya
filsafat bahasa biasa dipicu oleh kegalauan terhadap kegagalan bahasa logika
dalam menjelaskan jubelan realitas.
Jika
filsafat bahasa logika mengidealkan ketunggalkan makna dalam suatu kata dan
proposisi (uniformitas), sementara fakta keseharian memperlihatkan begitu
banyak ragam makna yang muncul secara nyata, maka wajarlah kalau lahirnya
filsafat bahasa biasa disambut luas untuk menjelaskan persoalan keragaman makna
bahasa itu (poliformitas). Wittgenstein menyadari bahwa kelemahan mendasar
bahasa logika ialah tidak mampu menyentuh seluruh realitas yang tampak nyata
dalam kehidupan sehari-hari. Wittgenstein mengalihkan perhatiannya pada
keanekaraman bahasa biasa dan cara penggunaannya, yang memproduksi keragaman
makna nyata.
Jika dibandingkan dengan masa Wittgenstein I, era Wittgenstein II berubah haluan dalam tiga prinsip sekaligus:
Jika dibandingkan dengan masa Wittgenstein I, era Wittgenstein II berubah haluan dalam tiga prinsip sekaligus:
1. Bahwa bahasa dipakai hanya
untuk satu tujuan saja, yakni menetapkan keadaan faktualnya (state of affairs).
2. Bahwa kalimat mendapatkan
maknanya dengan satu cara saja, yakni menggambarkan suatu keadaan faktual.
3. Setiap jenis bahasa dapat
dirumuskan dalam bahasa logika yang sempurna, meskipun pada pandangan pertama
barangkali sukar untuk dilihat.
Lepas
dari persoalan perubahan filosofis yang sangat mendasar pada diri Wittgenstein
tersebut, yang pasti melalui Philosophical Investigations, Wittgenstein telah
meletakkan pondasi besar tentang filsafat bahasa biasa sebagai antitesis
terhadap bahasa logikanya.
2. tata permainan bahasa (language
game).
Wittgenstein
menjelaskan tentang tata permainan bahasa melalui ilustrasi berikut:
“Suatu
permainan haruslah ditentukan oleh aturan. Kemudian jika dalam permainan catur
telah ditentukan sebelumnya bahwa “buah raja” memegang peranan yang sangat
penting, maka tentu jelas itu merupakan bagian yang esensial dalam permainan
tersebut.
Permainan catur baru akan menemukan maknanya sebagai
sebuah permainan jika seperangkat aturannya diindahkan. Tanpa mengikatkan diri
pada tata aturan permainan itu, maka permainan catur, dan segala permainan
lainnya, akan kehilangan maknanya.
Selain itu, bahasa juga memiliki seperangkat tata
aturannya yang darinya kemudian lahir makna yang terang dan jelas tentangnya.
Jika tata permainan bahasa ini diabaikan, maka bahasa akan kehilangan makna
terangnya. Karena itulah, untuk mendapatkan makna yang terang, bahasa tidak
boleh dilepaskan dari tata aturan permainnanya. Wittgenstein mengistilahkan hal
ini sebagai tata permainan bahasa (language game).
Jenis penggunaan bahasa ini memiliki tata aturan
permainannya sendiri, yang bila dicampur-adukkan, niscaya akan melahirkan
kekacauan berbahasa dan pemaknaannya. Apa yang menjadi tata aturan permainan
ilmiah, tidak bisa dicampurkan penggunaannya dalam tata aturan permainan bahasa
biasa. Demikian pula sebaliknya.
Oleh karena itu, mustahil
untuk membangun dan menerapkan sebuah tata aturan permainan bahasa tunggal dan
umum. Inilah prinsip utama pemikiran Wittgenstein II, yang sangat bertentangan
dengan pemikiran utama Wittgenstein I.
Pemikiran Wittgenstein ini
sangat terang muncul dalam pernyataannya: “Makna sebuah kata tergantung
penggunaannya dalam sebuah kalimat, makna sebuah kalimat tergantung
penggunaannya dalam sebuah bahasa, dan makna sebuah bahasa tergantung penggunaanya
dalam sebuah kehidupan.”
“Konteks”, inilah sebenarnya
padanan maksud yang dibangun oleh Wittgenstein dengan istilah tata permainan
bahasa itu. Setiap makna kata dan kalimat sama sekali tidak bisa dilepaskan
dari konteks yang melandasi penggunaannya dalam kehidupan pengucapnya.
Kata “kiri”, misalnya, jika
konteks penggunaannya dilakukan di atas kendaraan umum, maka ia bermakna “stop,
berhenti”. Jika ia digunakan dalam konteks sebuah diskusi tentang relasi
kapitalisme dan komunisme, ia menunjuk pada makna “komunisme”. Jika ia dipakai
dalam konteks studi Islam, ia bermakna “kaum liberalis” yang berhadapan dengan
kaum tradisional (kanan). Jika ia dipakai dalam konteks rambu-rambu lalu
lintas, ia bisa berarti “belok kiri”. Dan seterusnya.
Lain lagi kasusnya bila
sebuah kata dipergunakan dalam konteks ilmiah yang baku atau disiplin ilmu
tertentu. Tata aturan permainannya pun harus diindahkan. Kata ilmiah baku khas
Ekonomi, “permintaan dan penawaran” (demand and supply) jika digunakan dalam
konteks Ekonomi, jelas maknanya. Tapi jika kata ilmiah baku tersebut digunakan
dalam konteks pergaulan sehari-hari, bisa memicu kesalahpahaman arti. Kata
“permintaan dan penawaran” tersebut bisa dipahami sebagai “permintaan untuk
memenuhi kenduri” dan “penawaran untuk menginap di rumahnya”.
Demikian pula bila sebuah
kata atau kalimat dipergunakan sesuai dengan konteks lawan bicara. Misal, kata
“Tuhan” bila disampaikan kepada seorang anak kecil akan sangat sulit untuk
dimengerti maknanya, sehingga kita membutuhkan kata lain yang lebih pas dengan
konteks lawan bicara itu, misal “Pencinta” atau “Bapak”, dll. Misal lain, kata
“filsafat”, jika digunakan dalam konteks pembicaraan dengan lawan bicara
seorang petani di pelosok jauh, tentu akan sulit dipahami, kecuali bila diganti
dengan kata “pemikiran”, “pendapat”, “pandangan”, “paham”, “usul”, dll.
Semua uraian tersebut
menunjukkan dengan sangat nyata dan terang bahwa setiap kata atau kalimat
sungguh sangat terikat dengan konteks penggunananya, tata aturan permainannya.
Kegagalan mengikuti tata aturan permainan bahasa akan menimbulkan kerancuan
makna dan bahkan sekaligus kesan makna yang disertakannya.
Atas dasar teori tata
permainan bahasa ini, Wittgenstein mengkritik persoalan mendasar dalam dunia
filsafat yang memiliki kecenderungan untuk sangat sulit dipahami makna bahasa
yang diungkapkan para filosof. Menurutnya, hal itu terjadi lantaran para
filosof tidak memperhatikan tata aturan permainan bahasa ini sehingga
menimbulkan kekacauan pemahaman untuk memahami ungkapan-ungkapannya.
Wittgenstein menguraikannya
dalam peta berikut:
a.
Pola penggunaan istilah atau ungkapan dalam bahasa filsafat
yang tidak sesuai dengan tata aturan permainan bahasa.
b.
kecenderungan untuk mencari pengertian yang bersifat umum
dengan merangkum berbagai gejala yang diperkirakan mencerminkan sifat
keumumannya. Wittgenstein mengistilahkannya sebagai “craving for generality”
(ketunggalan dalam kamajemukan), yaitu kecenderungan mencari sesuatu yang umum
pada semua satuan konkret yang dihimpunkan di bawah suatu istilah umum, atau,
mencari satu kesatuan pengertian dalam keanekaragaman, kesamaan dalam
perbedaan, dan ketunggalan dalam kamajemukan.
c.
kecenderungan melakukan penyamaran pengertian atau pengertian
yang terselubung dalam istilah-istilah yang tidak dapat dipahami. Ini
semestinya dihindari untuk digunakan agar pemikiran yang dimaksudkan tidak
terkungkung dalam keterselubungan maknanya sehingga tidak menjadi sebuah
ungkapan yang sia-sia belaka.
D.
Beberapa Kritik terhadap
Wittgenstein
Pemikiran filsafat analisis Wittgenstein, khususnya
tentang language game, memberikan pengaruh yang sangat besar kepada para
pemikir sesudahnya, di antaranya Jean-Francois Lyotard saat meneliti tentang
masyarakat industrial. Namun demikian, ada bebarapa kritikan yang penting
diajukan dalam studi ini.
1. Peta yang dibuat Gilbert
Ryle dalam “ordinary use” (penggunaan bahasa biasa yang baku) dan “ordinary
usage” (penggunaan bahasa biasa dalam kebiasaan sehari-hari) melengkapi konsep language
game Wittgenstein tentang pentingnya untuk membangun batasan yang ketat
antara bahasa biasa baku dengan bahasa biasa sehari-hari.
2. kepentingan bahasa. Setiap
kata dan bahasa niscaya mengusung kepentingan, apa pun itu. Karena itulah, kata
Hans-Georg Gadamer dengan menyetujui Martin Heidegger, memahami sebuah bahasa
sesungguhnya merupakan kegiatan menyelidiki proses universal dari tindakan
hakikat manusia sebagai sebuah Ada.
Contoh konkret tentang kritik ini ialah bagaimana George
Soros, sang panglima kapitalisme global, saat menelurkan istilah:
“Faliabilitas, Refleksitas, dan Open Society”. Ketiga istilah Soros ini
mengusung kepentingan ekspnasi bisnis globalnya agar masyarakat lokal menerima
dengan positif kehadiran “orang-orang luar” untuk melakukan aktivitas ekonomi
di wilayahnya.
3. Sulitnya menerapkan filsafat
bahasa biasa dan language game Wittgenstein ke dalam kegiatan pemahaman
atau penafsiran teks.
Apa itu teks? Menurut Paul Ricoeur, teks adalah “any discourse fixed by writing.”
Istilah “discourse” ala Ricoeur ini
menunjuk pada bahasa saat dikomunikasikan, baik dalam bentuk lisan atau
tulisan. Untuk kasus discourse dalam bentuk lisan, menurut Ricoeur, tidak akan
membutuhkan banyak persoalan, lantaran tercipta komunikasi langsung, terlekat
langsung (include) dengan si pengucap, mulai intonasi hingga gesture. Tetapi
untuk discourse yang “fixed by writing”,
ia tidak memiliki situasi itu, terjadi keterputusan cakrawala penulis dan
pembaca. Di sinilah persoalan memahami dan menafsirkan teks begitu rumit.
Ricoeur tampak sangat terpengaruh oleh hermeneutika Gadamer tentang pentingnya fusion of horizons (peleburan cakrawala)
penulis dan pembacanya untuk mendialogkan teks dan pembacanya.
Sampai di sini, mudah dimengerti mengapa Ricoeur lalu
mencerabut teks dari dunia penulis/pengucap/pembicara. Teks adalah korpus yang
otonom, mandiri, memiliki totalitasnya sendiri. Karenanya, siapa pun Anda,
sangat bisa untuk membaca teks lalu menarik makna darinya secara mandiri, karena
dengan cara demikianlah teks itu menyatakan dirinya kepada Anda.
E.
Kalimat dan bahasa
“kita melihat bahwa apa yang
kita sebut kalimat dan bahasa tidak mempunyai kesatuan formal yang saya
bayangkan, akan tetapi lebih merupakan kelompok struktur yang kurang lebih
berhubunganantara satu dengan yang lainnya.” (1983:108)
F.
Esensi Pandangan Wittgenstein
Makna sebuah kata itu adalah penggunaannya dalam
bahasa dan bahwa makna bahasa itu adalah penggunaannya dalam hidup”. Terkadang
kita tidak dapat menduga bagaimana sebuah kata itu berfungsi. kita hanya harus
melihat penggunaannya dan belajar dari padanya.
Filsafat sama sekali tidak boleh turut campur dalam
penggunaan bahasa yang sesungguhnya, dan sebenarnya filsafat hanya dapat
menguraikannya.
G.
Makna Kata
Makna
sebuah kata adalah tergantung penggunaannya dalam suatu kalimat, adapun makna
kalimat tergantung penggunaannya dalam bahasa, sedangkan makna bahasa
tergantung penggunaannya dalam hidup.
Kritik Wittgensten atas Bahasa Filsafat
1. Kekacauan bahasa filsafat
timbul karena penggunaan istilah atau ungkapan dalam bahasa filsafat yang tidak
sesuai dengan aturan permainan bahasa.
2. Adanya kecenderungan untuk
mencari pengertian yang bersifat umum dengan merangkum berbagai gejala yang
diperkirakan mencerminkan sifat keumumannya.
3. Penyamaran atau pengertian
terselubung melalui pengajuan istilah yang tidak dapat difahami misalnya ‘kebenaran’,
‘ketiadaan’ dsb.
H.
Tugas Filsafat
Bahasa Filsafat yang memiliki berbagai kelemahan dapat
diatasi manakala kita mengetahui dan menerapkan analisis bahasa dalam
Filsafat. Bahasa Filsafat dapat teratasi bilamana meletakkan tugas filsafat
sebagai analisis bahasa. Terdapat dua hal yang terkait dengan tugas filsafat
dalam bhasa yakni:
1) Aspek Penyembuhan
(therapheutics), dan
2) Aspek Metodis
Sedangkan aspek metodologis
terbagi lagi atas dua bagian:
1) Dalam berfilsafat harus
meletakkan landasannya pada penggunaan bahasa sehari-hari, dengan memperhatikan
secara teliti aturan-aturan permainan bahasa (language games)
2) Upaya untuk keluar dari
kekacauan itu Wittgenstein mengibaratkan seperti seekor lalat yg terjebak dalam
sebuah botol bening, seakan berada di dunia luar akan tetapi sebenarnya ia
terperangkap dalam ruangan tersebut
Bagi
Wittgenstein untuk mengatasi kekacauan tersebut haruslah melalui penampakan
jalannya bahasa, yaitu bukannya melalui keterangan baru melainkan menyusun
kembali apa yang telah kita ketahui.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar